Bangun Komunikasi Cinta Keluarga melalui Momen Kreatif


 

Pandemi Covid-19 mengharuskan kita membatasi berkegiatan di luar rumah, dengan menerapkan bekerja dari rumah dan belajar dari rumah. Tidak mudah, karena sebelumnya kita sudah terbiasa berkegiatan di luar rumah. Namun kesadaran dan tanggung jawab akan pentingnya menjaga kesehatan diri dan keluarga lah, yang mendorong kita memilih untuk sementara waktu berkegiatan di rumah.

 

Perubahan akibat Pandemi Covid-19 ini tentu memiliki dampak psikologis. Bukan hanya dirasakan orang dewasa saja, namun remaja dan anak-anak mengalami dan merasakan dampak psikologis yang sama, seperti: meningkatnya perasaan cemas, takut, bingung, frustrasi dan mudah tersinggung. Inilah beberapa emosi yang muncul berupa proses mental yang menyertai perubahan yang bukan pilihan kita namun harus kita hadapi dan jalani.

 

Dalam kehidupan keluarga ini pun dirasakan. Saat kita sebelumnya berkegiatan di luar rumah, seringkali tidak mengenal waktu, di mana kebersamaan keluarga hanya dilakukan saat akhir pekan saja. Sekarang berbeda. Bapak Ibu menerapkan bekerja dari rumah, dan anak-anak pun harus menjalani belajar dari rumah, maka hampir setiap saat kita bertemu pasangan dan anak-anak, yang hampir semuanya berkegiatan di rumah.

 

Di awal saat melakukan kebiasaan baru tersebut, kita ada dalam masa “honeymoon phase” (fase bulan madu). Senang dapat berkumpul bersama keluarga setiap hari. Dapat melakukan kegiatan bersama yang sebelumnya jarang dilakukan, seperti sarapan pagi bersama dengan santai dan tidak perlu memikirkan soal kemacetan lalu lintas. Anak-anak pun senang karena lebih sering bertemu orangtuanya. Namun euphoria itu tidak berlangsung lama. Hanya sekitar dua atau tiga pekan saja efek bulan madunya dirasakan, setelahnya mulai muncul masalah-masalah yang dipicu rasa bosan, kebingungan dan frustrasi. Suasana di rumah mulai berbeda. Orang tua mulai sibuk dengan urusan pekerjaan, anak-anak pun mulai disibukkan dengan kegiatan belajar dan PR dari guru yang semakin bertambah.

 

Komunikasi antar anggota keluarga yang awalnya terjalin dekat, mulai berubah. Kembali pada kebiasan lama, berupa tanya-jawab mengenai kegiatan rutin yang dilakukan, seperti, “PR sudah dikerjakan belum?” atau mungkin mulai muncul konflik antara kakak dan adik terkait pilihan program televisi, misalnya. Jika memang situasi ini mulai muncul dan dirasa mempengaruhi kenyamanan komunikasi antar anggota keluarga, maka sebaiknya perlu disikapi dengan bijak dan dicari upaya untuk menyiasatinya.

 

Satu di antara kebiasaan yang dapat membantu mengakrabkan orangtua dan anak, yaitu makan bersama. Tidak hanya makan besar saja yang bisa dilakukan, memilih cemilan untuk dinikmati bersama juga dapat menjadi momen tersendiri dalam membangun kedekatan emosional dan psikologis antara orang tua dan anak. Contohnya: Mamancuk.  J

 

Komentar

Popular Posts