PEREMPUAN ITU ALUH IDUT NAMANYA



 

PEREMPUAN ITU ALUH IDUT NAMANYA
 
hidup harus memberi setitik arti
mati harus meninggalkan sedikit amsal
karena itulah makna lahirnya para satria
(Burhanuddin Soebely)
 
BANYAK orang yang didewa-dewakan sebagai pahlawan, padahal hanya korban-korban biasa. Banyak pula mereka yang angkat senjata ke medan laga, berpupur luka berkuah darah bermandikan banyu mata mempertaruhkan muruah bangsa, namun sering luput dari jembaan sejarah.
Benar satu yang nyaris luput dari jembaan tersebut adalah Aluh Idut, seorang pejuang yang turut ambil bagian dalam mempertahankan tanah Kalimantan dari jompak penjajah.
Aluh Idut adalah nama alias dari Siti Warkiyah, dilahirkan di Kandangan pada tahun 1905 dari keluarga Haji Muhammad Afief. Nama samaran tersebut bertujuan sebagai kamuflase seorang anggota intel di Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan. Karena itulah sulit ditemukan foto Aluh Idut dengan uniform prajurit.
Aluh Idut sebagai anak sulung dari empat bersaudara sebelumnya dibesarkan di lingkungan semangat nasionalisme yang pekat. Haji Muhammad Afief bukanlah nama yang asing bagi masyarakat Kandangan dan sekitarnya. Beliau semenjak tahun 1918 sudah menjadi anggota Serikat Islam (SI) di Kandangan. Di samping itu sebagai agamawan beliau adalah pemuka Islam yang terbilang masyhur di lingkungan masyarakatnya.
Di suasana seperti itulah sosok Siti Warkiyah ditempa oleh keadaan, sehingga pada zaman Revolusi Fisik tahun 1945-1949 sosok tersebut tampil di kalangan gerilyawan dan pejuang sebagai penyandang nama Aluh Idut.
Keterlibatan Aluh Idut di tengah perang yang berkecamuk di zaman Revolusi Fisik tahun 1945-1949 itu memang terasa janggal bila dipandang dari kultur tradisi dan lingkungan pada masa itu. Apalagi tradisi dan pengaruah agama (Islam) di Kalimantan Selatan terbilang sangat kental. Pekerjaan bertempur dan berperang adalah miliknya laki-laki. “Bakalahi gawian lalakian,” demikian persepsi masyarakat ketika itu. Namun tidak demikian halnya yang dialami oleh sosok Aluh Idut. Ia adalah sosok perempuan pejuang yang tak mengenal pemilahan mana gawian lelaki dan mana gawian perempuan.
Dalam keyakinan Aluh Idut agaknya sudah terpateri, bahwa membela kehormatan adalah hak setiap orang. Lebih-lebih membela kehormatan bangsa dan negara, hal itu adalah hak dan kewajiban yang tumpang tindih melekat pada setiap individu warga negara. Apalagi pembelaan tersebut memang terpanggil oleh kesadaran nurani paling dalam. Pernyataan tersebut bersifat umum, sama sekali tidak mencerminkan adanya diskriminasi laki-laki atau perempuan, atau juga rasial. Pernyataan tersebut umum dan menyeluruh. Pernyataan tersebut sekaligus juga menyiratkan makna bahwa sebuah perjuangan yang besar, pendukungnya tidak cuma mereka penyandang gender lelaki, tetapi juga tersedia ruang haknya untuk kaum perempuan.
Latar agama Islam yang menjadi lingkungan Aluh Idut juga menjadi pemicu motivasinya untuk berjuang membela dan mempertahankan bangsa dan negaranya. Demikianlah kehadiran sosok yang malang melintang di kancah revolusi berdarah bukanlah sesuatu yang asing.
Pendidikan yang sempat dijalani oleh Siti Warkiyah adalah Verfolk School yang ia selesaikan di tahun 1916 di Kandangan.
Berikut adalah lintas aktivitas dalam perjuangan Aluh Idut:
- Tahun 1932 menjadi anggota aktif organisasi Persatuan Bangsa Indoensia (PBI) Cabang Kandangan.
- Tahun 1936 menjadi anggota anggota Parindra (Partai Indonesia Raya) Cabang Kandangan.
- Tahun 1937 bersama H. Saniah dan H. Rafa’i menjadi delegasi Cabang Kandangan dalam Kongres Parindra di Bandung.
- Tahun 1938 menduduki jabatan Ketua pada Pengurus Besar Jamiatun Nissa (bagian keputrian) di lingkungan Pengurus Musyawaratuthalibin di Kandangan.
- Tahun 1940 menjadi anggota Panitia Kongres Wanita Kalimantan yang dilaksanakan di Kandangan. Pada kesempatan tersebut hadir Ny. Herawati Diah dari Jakarta.
- Tahun 1943-1949 (zaman Pacisme Jepang) menjadi anggota Fujingkai, bagian propaganda tentang persatuan dan kebangsaan Indonesia.
- Tahun 1945 termotivasi diturunkannya bendera Merah Putih oleh tentara NICA di Kandangan, Aluh Idut memasuki Barisan Pelopor Pemberontakan Kalimantan Indonesia (BPKI) sebagai anggota Penghubung dan Penyelidik. Operasi intelijen dan perolehan senjata ditugaskan kepadanya.
- Tahun 1946 Aluh Idut menjadi anggota Partai Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) Cabang Kandangan di bawah pimpinan Ibas.
- Tahun 1947 menjadi anggota aktif kelasykaran ALRI Divisi IV “A” Pertahanan Kalimantan untuk daerah X.18.
Di kelembangaan terakhir itulah Aluh Idut secara fisik bergelut dengan beragam aktivitas perjuangan. Saat juga di mana Pemerintah Kolonial Belanda selalu memata-matai gerak-gerik orang-orang yang dicurigai.
Serapi-rapinya aktivitas pergerakan yang dilakukan Aluh Idut dan kawan-kawan, akhirnya tercium juga oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Aluh Idut dituduh sebagai aktivis ekstrimis Lasykar Wanita Indonesia (LASWI). Karena itu ia diringkus dan disekap di ruang kantor Controleur.
Dalam penyekapan, ia dijejali hinaan, caci-maki, jotosan, tamparan, jambakan dan tendangan bertubi-tubi, menghujani tubuhnya. Ia juga dihumbalangkan ke dalam septitank. Tubuh ringkih perempuannya juga dialiri setruman listrik. Semua deraan dan rajaman yang dikerkahkan ke tubuhnya diterima tanpa daya. Hanya ketabahan dan kesabaran akan tekad dan resiko perjuangan yang membuatnya bertahan, meski berkuah darah, bergelimang jerit kesakitan dan derai air mata derita tak terperikan.
Terhumbalang oleh kepahitan derita yang sedemikian menyayat itu, Aluh Idut tetap mampu bertahan untuk tidak membeberkan segala rahasia perjuangan mereka yang terhimpun dalam kesatuan ALRI Divisi IV. Semua rahasia perjuangan terbenam kokoh dalam ketegaran semangat perjuangannya. Semua ia benamkan di dasar tangis dan tetesan air mata sengsara serta kepahitan nestapa, bahkan nanah luka yang terus menganga.
Berbagai siksaan dan deraan itu baru diakhiri setelah pertemuan di Munggu Raya pada tanggal 2 September 1949, saat para gerilyawan pejuang yang bergabung dalam ALRI Divisi IV oleh Jenderal Mayor Soehardjo atas nama Pemerintah Pusat RI diakui secara resmi sebagai anggota APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Aluh Idut dikeluarkan dari tahanan Militer Belanda.
Perjuangan belum menemu kata akhir. September 1949, Aluh Idut didampingi Hamidah Arsyad, oleh Hassan Basery, Gubernur Militer ALRI Divisi IV kala itu, ditugasi mengadakan pembinaan dan kontak dengan gerilyawan pejuang yang masih tersebar di banyak tempat di Kalimantan Tengah. Misinya adalah untuk menginformasikan adanya persetujuan gencatan senjata yang sudah disepakati.
Aluh Idut dan Hamidah Arsyad (yang lebih dikenal dengan Hamidah Maksum – setelah bersuamikan Maksum) melakukan tugas sebagai utusan dari pimpinan umum (Hassan Basery) untuk meresmikan pasukan ALRI DIVISI IV di pedalaman Kalimantan Tengah.
Jarak tempuh ke Dayak Besar atau Kalimantan Tengah dari Hulu Sungai tersebut melalui Kalumpang, Muning (Tapin), Margasari, Pulau Silo, Anjir Serapat, Pulang Pisau, Kapuas, Pahandut (sekarang Palangkaraya), Kuala Kurun, dan Teweh. Perjalanan jauh dan berbahaya itu ditempuh hanya dengan menggunakan jukung, melintasi sungai trans-Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah yang berjarak ratusan kilometer.
Perjalanan pertama ke Dayak Besar hingga ke Pulang Pisau ditempuh kurang lebih 15 hari. Setiap lokasi yang disinggahi selalu mengadakan hubungan dengan gerakan gerilya untuk mengajak mereka bergabung dengan ALRI Divisi IV pimpinan Hassan Basery. Sebagai utusan mewakili Hassan Basery, Aluh Idut di antaranya menemui Adonis Samad pimpinan kelompok gerilya yang bermarkas di Tewah. Dalam pertemuan itu Adonis Samad setuju bergabung dengan ALRI Divisi IV.
Perjalanan pulang-pergi dari Hulu Sungai (Kalimantan Selatan) ke Dayak Besar (Kalimantan Tengah) ditempuh selama 37 hari. Beratnya medan perjalanan dan lamanya waktu yang ditempuh itu membuat kondisi Aluh Idut mulai sakit-sakitan.
Diceritakan, selama dalam perjalanan itu Aluh Idut hanya mengenakan kebaya sederhana layaknya perempuan desa. Sepanjang perjalanan pula, beliau lebih banyak berbaring di dalam jukung sambil memegang dadanya yang sakit. Kondisi itu ditengarai sebagai efek dari penyiksaan militer Belanda selama beliau dalam tahanan beberapa waktu sebelumnya. Ditambah lagi dengan harus bermalam di hutan-hutan bahkan tak jarang sambil berhujan-hujan selama dalam perjalanan. Beratnya beban perjalanan dan deraan tubuh yang pernah beliau alami sebelumnya, membuat kondisi fisik beliau semakin lemah, dan akhirnya perempuan tangguh itupun jatuh sakit.
Dalam penugasannya sebagai duta keliling tersebut, Aluh Idut sempat pula meresmikan beberapa markas pangkalan gerilya yang selanjutnya berfungsi sebagai alat pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV. Perjalanan melelahkan dan penuh resiko tersebut mengingatkan kita pada kiprah Panglima TNI Jenderal Soedirman, yang juga dalam kondisi sakit tapi tetap ikut turun naik gunung dan lembah dalam memimpin perjuangan membela tanah air tercinta.
Sesudah pengakuan kedaulatan dan kembalinya Kalimantan ke pangkuan Ibu Pertiwi, Aluh Idut beraktivitas di pengurusan oragnisasi wanita PERWARI, dengan jabatan sebagai Penasehat Umum. Walaupun beliau dalam kondisi sakit-sakitan, ide-idenya sangatlah dibutuhkan bagi perkembangan PERWARI. Di antaranya berhasil mengembangkan sebuah perkumpulan wanita khusus untuk para wanita remaja yaitu IPK (Ikatan Pemudi Kalimantan) dengan misi mengembangkan keterampilan menjahit dan pemberantasan buta huruf.
Pada tanggal 5 Febuari 1958 Aluh Idut meninggal dunia di Kandangan. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa perjuangannya terhadap bangsa dan Negara Republik Indonesia, oleh Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pada tanggal 10 November 1958 dianugerahkan “Surat Tanda Djasa Pahlawan” No. 08126 Tanggal 10 November 1958 kepada almarhum. Almarhum juga menerima penghargaan “Bintang Gerilya” dan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 12 Agustus 1958 Nomor 175/1959, Aluh Idut (Siti Warkiyah) diangkat sebagai Letnan I (Anumerta).
Untuk mengenang sekaligus menghargai jasa seorang pejuang bernama Aluh Idut, oleh masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Selatan juga diabadikan menjadi nama sebuah jalan yang melintang di Timur Kota Kandangan. Nama Aluh Idut memang sangat pantas dan layak disebut KOWAL (Korps Wanita Angkatan Laut) Pertama TNI Angkatan Laut, atau Marinir Sekarang.
Di tiap babakan sejarah, selalu saja tercatat adanya penampilan sosok fenimim di medan laga, turut urun bakti memanggul senjata menghumbalangkan musuh bersama. Rumah tangga, tradisi, lingkungan sosial dan budaya nyaris tak mampu memadamkan ketika kobaran api perjuangan telah bingkas dan menggelegak di dada seorang patriotik.
Tetap merdeka!
Aliman Syahrani
(Budayawan dan Pegiat Literasi Banua)
*) Dari berbagai sumber. Sumber utama, “Lintas Revolusi Fisik Tahun 1945-1949, Daerah Kalimantan Selatan di Hulu Sungai Selatan” oleh Djarani E.M. dan Burhanuddin Soebely.
(diambil secara utuh dari fp Bapak Aliman Syahrani)
semoga bermanfaat

Komentar

Popular Posts